Ujung Kali
Oleh: Arief Rahman Heriansyah
“Kalian tahu? Hal yang
paling menyedihkan di dunia ini adalah saat kita kehilangan waktu.”
Aku masih tertunduk lemas sambil memeluk
lutut menahan rasa dingin, sementara di luar sana hujan semakin deras. Jendela reyot
rumah kami semakin menampakkan redupnya sore yang tempias ini, udara di luar
semakin rapuh.Sudah hampir satu jam, akan tetapi sepertinya BibiJumrah tak akan
berhenti menceramahikami sore ini.
“Coba
pikirkan, betapa besarnya kekayaan dan jabatan seseorang, seperti Raja Padang
Pasir misalnya, sekuat-kuat bagaimana pun dirinya tetap saja ia akan mati
dimakan waktu.”
Sebenarnya Bibi Jumrah
sangat bijak dalam berkata-kata, namun tetap saja aku tidak akan mengerti apa
maksudnya, lagi pula di umurku yang belum genap sepuluh tahun ini, mana mengerti
tentang petuah-petuah seperti itu. Sedangkan di sampingku Kak Nanang hanya
berdiam diri saja, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Aku menghela
napas pelan.
Sebenarnya
ini salah Kak Nanang, ia yang ajak aku bolos sekolah pagi tadi. Dan mengajak
aku untuk berenang di sungai kecil yang tak jauh dari lokasi sekolahan,
kebetulan sekarang lagi musim penghujan. Berenang di tempat yang sedikit tidak
biasa tentu saja anak kecil sepertiku ini dengan mudahnya tidak akan menolak
tawaran itu, apalagi airnya sangat deras dan menakjubkan. Awalnya berjalan
lancar-lancar saja, tak ada yang tau bahwa kami berdua bolos pagi ini. Namun
pada saat aku dan Kak Nanang pulang sekolah, kudapati hawa yang beda dari Bibi
Jumrah, wajahnya tidak seperti biasanya pada kami berdua, sangat tidak
bersahabat. Dan jadilah kami kena omelan keras dari wanita paruh baya ini saat
sorenya, saat guntur meneriakkan suaranya dari cadar langit, dan aku beserta
Kak Nanang hanya terdiam bersungut sebal. Entah siapakah yang mengadukan ini
semua? Aku ngedumel dalam hati. Setelah itu kami ketahui si Galuh yang ternyata
mengadukan perihal ini kepada Bibi. Aku mendengus kesal, sedangkan Kak Nanang
wajahnya seperti tertahan sesuatu. Terdiam.
“Dan
kalian tahu? Ibu kalian susah-susah membesarkan kalian di rumah kecil ini!
Tentu saja bukan perkara mudah untuk mengurus dua anak laki-laki dan adik
perempuan kalian si Galuh. Dan kalian? Akh,
kenapa begitu bodoh menyia-nyiakan waktu sekolah kalian! Apa kalian ingin mati
sia-sia seperti Raja Padang Pasir itu, hah?”
Aku dan Kak Nanang menggeleng patah-patah.
Sementara si Galuh melintasi kami semua dengan membawa cangkir yang berisi
susu. Wajahnya nampak polos sekali, seperti tidak melakukan kesalahan apa-apa.
Mataku melotot, ekspresi wajah si Galuh seketika terkejut, ia refleks
mempercepat jalannya menuju teras belakang, tidak memperdulikan bagaimana
selanjutnya nasib dua kakak lelakinya ini. Awas
kau!
“Sudahlah,
kalian berdua cepatlah mandi di batang! Sebentar lagi akan tiba azan maghrib,
jangan sampai kalian berlarut-larut, lihat itu senja kuning, pamali! Eh, tapi ingat.. kalau kalian
besok ketahuan bolos sekolah lagi, Bibi tak akan segan-segan merendam tubuh
kalian berdua di sungai seharian!”Aku bergidik.
“Iya…iya…” Akhirnya
terdengar Kak Nanang mengeluarkan suara parau dari mulutnya.
*****
Kami bertempat tinggal
tepat di pinggiran bentangan sungai, dan rumah kami mengapung anggun di atas
air. Sama seperti rumah-rumah tetangga kami lain yang juga mengapung, setahuku
orang-orang menyebutnya rumah lanting. Bagiku sungai adalah sumber utama
penghidupan kami. Karena dari sungailah kami bisa melakukan apa saja, baik itu
meraih sumber makanan maupun melakukan aktifitas lainnya. Dan tentu saja,
sebagai tempat aku berenang dan bermain sepuas-puasnya bersama teman-teman
sekolahku.
Aku
ditakdirkan sebagai anak kedua yang serba salah, karena memiliki seorang kakak
lelaki yang sering sekali menyeretku dalam masalah-masalah rumit, entah itu
apa. Dan tidak berakhir sampai di sini, aku masih mempunyai satu adik perempuan
lagi, yang selalu tukang adu dan cerewet minta ampun bila ada kemaunnya yang wajib dituruti. Entah sejak kapan,
yang kutau sejak dulu kami bertiga sudah diasuh sendiri oleh Bibi Jumrah.
Wanita perkasa berumur empatpuluhan ini adalah kakak dari Ibuku dan sampai
sekarang masih membujang dengan keras hidupnya, menafkahi kami bertiga. Lalu
sampai sekarang aku masih bingung
kenapa Kakak dipanggil Nanang, padahal itu bukan nama aslinya. Dan adikku si Fatimah,
malah lebih akrab dipanggil dengan sebutan Galuh. Sedangkan aku? Kalian mesti
merasa lucu dengan panggilan ini, Utuh.
Sudah
lima tahun lebih Ibu bekerja ke negara tetangga, menjadi pahlawan devisa, entah
apa itu maksudnya. Yang jelas aku sangat rindu sekali dengan Ibu, terlebih
adikku si Galuh yang masih kecil, yang semestinya setiap hari dapat merasakan
belaian kasih seorang Ibu. Sedangkan Ayah.. ah,
aku tak perlu ambil pusing memikirkannya. Kata Bibi Jumrah, Ayah menghilang
setelah Galuh lahir, mungkin dia sekarang juga sibuk mengurusi isteri baru dan
anak-anaknya, begitu penjelasan Bibi. Membuatku tersungut, tapi aku tetap
bahagia dengan hidup apa-adanya seperti ini. Menurutku hidup ini sangat menyenangkan,
bermain dan bermain. Dan aku tetap senang karena penghuni rumah ini saling
mempedulikan satu sama lain.
*****
“Kak,
aku takut...”
Hujan amat
lebat di luar sana. Suara guntur menggelegar sangat nyaring, amat memekakkan telinga. Aku menarik selimut kumul
sampai menutupi seluruh wajahku, mana bisa aku memejamkan mata, suasana sangat
mencekam. Yang lebih parah lagirumah lanting kami bergoyang amat dahsyat,
terasa seperti diterjang ombak ganas. Pintu belakang berderit-derit, angin
kencang menerpa keras melewati lubang-lubang di rumah kami. Aku bergidik,
bagaimana kalau rumah lanting kami ini tanggul talinya lepas, terhunyung
terbawa arus sungai, tentu akan kami dapati besok harinya kami akan berada di negeri
antah-berantah mana.
“Kakak.....” Aku kembali menjerit
lirih.
“Hus!!
Bisakah kau diam?!”
Akhirnya Kak
Nanang terbangun juga. Meski sambil mendengus sebal, setidaknya terjaganya
ia rasa takutku sedikit berkurang.
Tak jauh dari tempat kami, Bibi Jumrah dan Galuh amat tertidur nyenyak, Seperti
menikmati suasana.
Kak
Nanang menerawang wajahnya pias ke arah jendela kami yang tidak tertutup
sempurna karena lapuk dimakan usia, dia terlihat melamun akan tetapi setelah
itu wajahnya bergidik takut.
“Kata
Bibi Jumrah duu, saat tengah malam hujan deras dan gelombang sungai bergejolak
hebat seperti ini, sang makhluk buas itu akan keluar berkeliaran….”
“Maksudnya
apa kak? Makhluk buas apa yang kakak bilang tadi?!” Aku bergidik ngeri sambil
menarik selimut lusuh ini sampai menutupi separuh wajah, tubuhku bergeser pelan
agar merasa rapat dengan posisi kak Nanang.
“Kak….”
Aku masih bertanya walaupun hatiku kecut.
“Diamlah…jangan
sampai buaya kuning itu mengetahui kita belum tidur. Kamu tahu Amang Salani
kan? Yang tinggal di gubuk angker ujung hilir desa kita ini, beliau adalah
orang yang memiliki banyak ajian mistik dan yang paling terkenal ceritanya
adalah, beliau memiliki buaya kuning yang sangat besar…”
Aku
semakin terkejut dan menggigit jari, kurasakan bulu kudukku berdiri.
”Sudahlah,
cepat kau tidur. Besok kita mesti bangun pagi-pagi kan?”
“Lah, kak? Aku masih
ingin mendengar cerita kakak.”
Kak Nanang
mengubah posisi bantalnya menutupi seluruh kepala, dan sehabis itu ia terdengar
mengorok kembali, tanpa memperdulikanku yang masih
melongo.Tertinggal aku
sendiri yang tak dapat memejamkan mata, aku paling benci dengan suasana malam
menakutkan seperti ini!
*****
Aku
mematung di muka pintu rumah, memandang guyuran hujan deras pagi ini. Ternyata
semenjak malam tadi hujan belum juga mau mereda. Aku mendesah pelan. Begitu pun
Kak Nanang, pandangannya kosong seperti memandang arah tak menentu.
“Yah..
gimana ini Kak? Hujannya semakin deras.”
Kak Nanang hanya diam menatap butiran
deras itu. Tak lama kemudian Bibi Jumrah datang menghampiri kami berdua yang
termangu di depan pintu, sambil membawa satu buah daun pisang lebar yang
kayaknya baru dipetik dari depan rumah tetangga.
“Nah,
bawalah daun ini. Kalian bisa menggunakannya sebagai penutup kepala. Ingat,
jangan sampai hujan-hujanan, aku tak mau dengar kalau kalian sakit.” Bibi
Jumrah berkata tegas. Aku dan Kak Nanang bergegas meraih daun pisang lebar itu
dan melangkahkan kaki menerjang guyuran lebat ini.
“Nanang!”
Langkah kami berdua terhenti, sesaat menoleh Bibi Jumrah yang masih di muka
pintu.
“Jaga adikmu!” Kak
Nanang mengangguk. Setelah itu kami melangkah mantap menuju sekolah.
Jaraknya sekolah
sebenarnya lumayan jauh dari keberadaan rumah lanting kami, perlu tiga puluh
menit lamanya untuk menempuh ke sana, itupun kalau jalanan kering saat musim
kemarau. Lalu sekarang, lihat saja jalanan becek di sana-sini. Belum lagi
karena bekas hujan yang sedari malam tadi tak kunjung berhenti membuat seluruh
jalan setapak di antara semak-semak semuanya tergenang air. Bahkan aliran air
ini cukup deras saat melewati jalan bebatuan, kalau tidak hati-hati tentu saja
kakiku yang kecil ini akan terpeleset atau bahkan bisa terseret arus.
Hingga tibalah kami di
depan sungai kecil selebar tiga meter, dan musim penghujan membuat arus sungai
itu terlihat cukup deras, dan batu-batu besar yang biasanya digunakan untuk
menanjakakan kaki untuk menyeberangi itu tenggelam hingga tidak kelihatan. Kak
Nanang membenamkan sebelah kakinya untuk mengecek sedalam apa arus sungai
sampai gundukan batu-batu tersebut.
“Airnya cukup dalam…”
lirihnya. Aku terdiam, setelah itu ia memerintahkan agar lebih menyingsingkan
celana merah sekolahku sampai setinggi mungkin. Setelah itu kulihat Kak Nanang
memasukkan buku-buku tulis ke dalam perutnya untuk diapit biar tidak terjatuh,
kemudian digenggamnya tangan kiriku dengan erat.
“Sekarang kita jalan
pelan-pelan. Jangan sampai kamu melepas tanganku.” Kak Nanang memberi kode kalau kami akan menyeberangi sungai
deras di hadapan kami ini, aku menelan ludah. Aku lumayan takut saat melihat
banyak potongan-potongan kayu dan ranting daun berseliwiran lewat di depan kami
terseret arus.
“Ayo, jangan melamun!”
Aku terkesiap ketika Kak Nanang menurunkan kakinya duluan ke air sungai ini,
selanjutnya aku dengan gemetar berjalan mengikuti dengan posisi tangan kiri
mengenggam erat tangannya dan tangan kanan memeluk satu buku tulis tebal. Kami
berdua memang sama-sama tidak memiliki tas gendong atau semacam apa yang bisa
menampung peralatan alat-alat sekolah kami. Memang beginilah adanya, sepatu pun
kami tak punya, sandal jepit ini lah yang selalu menemani hari-hari kemanapun
kami pergi. Ironis kenapa sekolah kami tidak pernah satu kali pun mendapatkan
bantuan dari orang-orang terpandang di luar sana, agar kami bisa sedikit
mengecup enaknya mempunyai tas, sepatu, atau pakaian sekolah yang layak.
Kemudian aku sedikit tersenyum sinis, menunggu hari kiamat pun rasanya bantuan
itu takkan pernah datang menyapa kampung kami yang sangat terpelosok jauh dari
riuhnya kota ini.
Lihat, sempurna sudah
air ini membasahi sampai sekilan di atas pahaku. Sedikit saja lagi singsingan
celana merah ini akan basah semuanya, aku berjalan berusaha untuk sambil
berjingkit. Kak Nanang semakin erat menggenggam tanganku, setidaknya aku merasa
sedikit lebih aman. Sudah hampir separuh lebih sungai ini kami jalani, air
sungai yang dingin pagi hari ini membuat tulang
kakiku sedikit tegang, aku menggigit bibir. Namun tak berapa lama
kemudian naas kaki kananku menginjak gundukan batu besar yang sangat licin, dan
sontak saja aku langsung terjatuh. Aku refleks berteriak, dengan sigap Kak
Nanang menarik tanganku dan membantuku untuk berdiri. Namun ada satu hal yang
membuatku panik.
“Kak, buku tulisku!!”
aku berteriak panik, mukaku pucat. Bagaimanatidak, itu adalah catatan PR
matematika yang kukerjakan dua hari dua malam penuh. Dan pagi ini catatan itu
harus segera dikumpul. Aku tak mau lagi bayangan seram wajah Ibu Nina yang
bertanduk itu mengomeliku keras-keras karena tempo kemaren aku tidak ingat
mengerjakan PR darinya. Dan sekarang...
“Tunggu di sini!” Kak
Nanang dengan cepat berlari ke tepian sungai, mengejar bukuku yang telah hanyut
dibawa arus deras ini. Aku melangkah gontai ke tepian, duduk terhunjur lemas
sambil mengatur nafas. Sudah basah kuyup lah tubuh kecilku habis terpeleset tadi.
Sambil menunggu Kak Nanang kembali, aku berdoa agar ia kembali dengan
menyelamatkan buku tulisku itu walapun basah ataupun sudah hancur dirobek
buntalan air. Yang penting wujudnya ada, dan bisa kuperlihatkan pada Bu Nina
kalau aku sudah mengerjakan semua tugas rumah olehnya. Lama aku menanti Kak
Nanang, wajahku sudah super terlipat menahan perasaan takut kalau bukuku itu
tidak ditemukan. Setelah itu kulihat ia datang dengan langkah gontai dan wajah
pucat. Aku menaikan kedua alis dan mendongakkan wajahku, pertanda isyarat
bertanya bagaimana? Setelah itu Kak
Nanang menggeleng lemah. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tanganku,
tamatlah sudah riwayatku. Namun setelah itu ia berbicara sangat pelan, seperti
berbisik namun gurat wajahnya merintih menahan rasa takut.
“Makhluk itu…aku
melihat buaya kuning besar itu sedang menatap tajam kepadaku di ujung kali
sana!” Aku tersentak kaget, serta merta secepat kilat aku menggenggam tangan
kak Nanang untuk berlari kencang menjauh dari lokasi sungai ini. Langit di atas
sana bergemuruh, entah apakah hujan ini akan lebih menggila mengguyuri desa
kami.
*****
Sekolah ini bangunannya
sungguh memprihatinkan, banyak sudah ruangan kelas tidak bisa dipakai karena
dikhawatirkan akan roboh secara tiba-tiba. Hanya empat ruangan, tiga ruang
kelas untuk belajar dan satunya lagi ruang para guru, itu pun tidak pantas disebut
ruang guru karena beralaskan tanah dan ruangannya sangat pengap, dengan sarang
laba-laba banyak menghiasi ujung langit-langit bangunannya. Sedangkan tiga
kelas sisanya tadi dipakai semua enam tingkatan kelas. Tentu saja kalian bisa
menebaknya, kami bergiliran memasukinya, ada yang waktu pagi dan masuk diwaktu
siang.
Aku memasuki ruangan
kelas dengan tangan kosong, kulihat teman-teman di sana sibuk dengan ocehannya
masing-masing, tanpa ada satu pun yang menanyakan kenapa aku tidak membawa buku
tulis atau mengapa badanku basah kuyup semua, ahh...peduli apa mereka? Aku menyapu pandangan ke seluruh isi
kelas, ibu Nina belum masuk rupanya. Aku
bisa sedikit bernafas lega.
Aku duduk termanggu di
bangku paling belakang, di luar sana hujan masih belum berhenti namun sekarang hanya
gerimis yang menyapu desa kami.Ruangan ini berisi tiga belas anak-anak kelas
empat, tentunya mereka semua dari kalangan menengah kebawah sama sepertiku.
Namun mereka sama sekali tidak pernah mengeluh atas keberadaan mereka seperti
ini, terlebih mengeluh tentang sekolah tempat belajar mereka. Bahkan pernah
salah satu temanku bilang lebih asyik tidak usah sekolah saja, kan enak bisa
libur terus katanya, aku tersenyum menyeringai saat itu. Di sampingku duduk si
Adul yang menatap ke papan tulis dengan tatapan kosong, aku tersenyum
menyapanya, namun aku tahu takkan pernah bisa mendapatakan balasan senyum
darinya, Adul anak yang cerdas namun autis.
Tiba-tiba suasana yang
mulanya rusuh dan sangat ribut mendadak senyap, ibu Nina rupanya masuk dengan
peluh berkucuran di keningnya dan langkah yang sedikit tergesa-gesa.
“Selamat pagi
anak-anak, maaf Ibu terlambat datang.”
Kami dengan serentak menjawab
salam beliau. Aku gugup karena teringat kembali dengan buku tulisku yang hilang
terseret air sungai tadi.
“Ehem..anak-anak
silahkan buka buku paket Bahasa Indonesia kalian.”
Eh,
entah terkena angin apa bu Nina sama sekali tidak menyinggung masalah PR
matematika yang beliau suruh kemaren, aku menarik nafas panjang sedangkan
teman-teman yang lain kulihat bersorak pelan sambil menunjukkan wajah sumringah
mereka.
“Perhatikan
anak-anak, tolong kalian sediakan selembar kertas. Tulis sebuah puisi untuk
Gubernur kita sekarang juga. Nanti tugas kalian dikumpulkan kepada kepala
sekolah, dan puisi terbaik akan diserahkan langsung kepada Bapak
Gubernur.”
Aku melongo, kemudian aku tersenyum
sinis. Apa gunanya tugas ini? Apakah dengan puisi yang berisi
permintaan-permintaan atau semacam perasaan iba dari kami bisa didengar
olehnya? Entahlah.. dengan tangan lunglai segera kucoret kertas yang baru saja
kupinta dari Adul dengan batang pensil pendek ini. Di situ kutulis kalimat
pembuka: “Ayahanda terhormat...” Aku
mendesah pelan sambil memejamkan mata, apa yang harus kutulis? Selanjutnya aku
membayangkan anak-anak di desa kami bisa bersekolah dengan layak, bangunan
sekolah yang tegar dan kokoh seperti di kota-kota besar sana, dan aku bisa
makan tiga kali sehari dengan paha ayam kesukaanku waktu ada upacara adat AruhGanal di desa kami musim lalu, atau
bisa saja aku meminta agar dibuatkan jembatan ulin yang kuat agar kami tidak
perlu repot-repot mencelupkan kaki lagi saat pergi berangkat sekolah. Atau? Aku
minta agar hal-hal mistik seperti buaya kuning milik Amang Salani agar dimusnahkan
saja oleh tentara-tentara milik pemerintah karena aku takut. Ah, semua ini terasa kritis. Episode
merah putih di negeri kita mengantung-gantung di langit tanpa tonggak
penampungnya. Entah bagaimanakan nasib orang-orang seperti kami ini selanjutnya.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar