Rabu, 21 September 2016

CERPEN: Ujung Kali

Ujung Kali
Oleh: Arief Rahman Heriansyah





“Kalian tahu? Hal yang paling menyedihkan di dunia ini adalah saat kita kehilangan waktu.”
Aku masih tertunduk lemas sambil memeluk lutut menahan rasa dingin, sementara di luar sana hujan semakin deras. Jendela reyot rumah kami semakin menampakkan redupnya sore yang tempias ini, udara di luar semakin rapuh.Sudah hampir satu jam, akan tetapi sepertinya BibiJumrah tak akan berhenti menceramahikami sore ini.
            “Coba pikirkan, betapa besarnya kekayaan dan jabatan seseorang, seperti Raja Padang Pasir misalnya, sekuat-kuat bagaimana pun dirinya tetap saja ia akan mati dimakan waktu.”
Sebenarnya Bibi Jumrah sangat bijak dalam berkata-kata, namun tetap saja aku tidak akan mengerti apa maksudnya, lagi pula di umurku yang belum genap sepuluh tahun ini, mana mengerti tentang petuah-petuah seperti itu. Sedangkan di sampingku Kak Nanang hanya berdiam diri saja, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Aku menghela napas pelan.
            Sebenarnya ini salah Kak Nanang, ia yang ajak aku bolos sekolah pagi tadi. Dan mengajak aku untuk berenang di sungai kecil yang tak jauh dari lokasi sekolahan, kebetulan sekarang lagi musim penghujan. Berenang di tempat yang sedikit tidak biasa tentu saja anak kecil sepertiku ini dengan mudahnya tidak akan menolak tawaran itu, apalagi airnya sangat deras dan menakjubkan. Awalnya berjalan lancar-lancar saja, tak ada yang tau bahwa kami berdua bolos pagi ini. Namun pada saat aku dan Kak Nanang pulang sekolah, kudapati hawa yang beda dari Bibi Jumrah, wajahnya tidak seperti biasanya pada kami berdua, sangat tidak bersahabat. Dan jadilah kami kena omelan keras dari wanita paruh baya ini saat sorenya, saat guntur meneriakkan suaranya dari cadar langit, dan aku beserta Kak Nanang hanya terdiam bersungut sebal. Entah siapakah yang mengadukan ini semua? Aku ngedumel dalam hati. Setelah itu kami ketahui si Galuh yang ternyata mengadukan perihal ini kepada Bibi. Aku mendengus kesal, sedangkan Kak Nanang wajahnya seperti tertahan sesuatu. Terdiam.
            “Dan kalian tahu? Ibu kalian susah-susah membesarkan kalian di rumah kecil ini! Tentu saja bukan perkara mudah untuk mengurus dua anak laki-laki dan adik perempuan kalian si Galuh. Dan kalian? Akh, kenapa begitu bodoh menyia-nyiakan waktu sekolah kalian! Apa kalian ingin mati sia-sia seperti Raja Padang Pasir itu, hah?
Aku dan Kak Nanang menggeleng patah-patah. Sementara si Galuh melintasi kami semua dengan membawa cangkir yang berisi susu. Wajahnya nampak polos sekali, seperti tidak melakukan kesalahan apa-apa. Mataku melotot, ekspresi wajah si Galuh seketika terkejut, ia refleks mempercepat jalannya menuju teras belakang, tidak memperdulikan bagaimana selanjutnya nasib dua kakak lelakinya ini. Awas kau!    
            “Sudahlah, kalian berdua cepatlah mandi di batang! Sebentar lagi akan tiba azan maghrib, jangan sampai kalian berlarut-larut, lihat itu senja kuning, pamali! Eh, tapi ingat.. kalau kalian besok ketahuan bolos sekolah lagi, Bibi tak akan segan-segan merendam tubuh kalian berdua di sungai seharian!”Aku bergidik.
“Iya…iya…” Akhirnya terdengar Kak Nanang mengeluarkan suara parau dari mulutnya.

*****
Kami bertempat tinggal tepat di pinggiran bentangan sungai, dan rumah kami mengapung anggun di atas air. Sama seperti rumah-rumah tetangga kami lain yang juga mengapung, setahuku orang-orang menyebutnya rumah lanting. Bagiku sungai adalah sumber utama penghidupan kami. Karena dari sungailah kami bisa melakukan apa saja, baik itu meraih sumber makanan maupun melakukan aktifitas lainnya. Dan tentu saja, sebagai tempat aku berenang dan bermain sepuas-puasnya bersama teman-teman sekolahku.
            Aku ditakdirkan sebagai anak kedua yang serba salah, karena memiliki seorang kakak lelaki yang sering sekali menyeretku dalam masalah-masalah rumit, entah itu apa. Dan tidak berakhir sampai di sini, aku masih mempunyai satu adik perempuan lagi, yang selalu tukang adu dan cerewet minta ampun bila ada kemaunnya yang wajib dituruti. Entah sejak kapan, yang kutau sejak dulu kami bertiga sudah diasuh sendiri oleh Bibi Jumrah. Wanita perkasa berumur empatpuluhan ini adalah kakak dari Ibuku dan sampai sekarang masih membujang dengan keras hidupnya, menafkahi kami bertiga. Lalu sampai sekarang aku masih bingung kenapa Kakak dipanggil Nanang, padahal itu bukan nama aslinya. Dan adikku si Fatimah, malah lebih akrab dipanggil dengan sebutan Galuh. Sedangkan aku? Kalian mesti merasa lucu dengan panggilan ini, Utuh.
            Sudah lima tahun lebih Ibu bekerja ke negara tetangga, menjadi pahlawan devisa, entah apa itu maksudnya. Yang jelas aku sangat rindu sekali dengan Ibu, terlebih adikku si Galuh yang masih kecil, yang semestinya setiap hari dapat merasakan belaian kasih seorang Ibu. Sedangkan Ayah.. ah, aku tak perlu ambil pusing memikirkannya. Kata Bibi Jumrah, Ayah menghilang setelah Galuh lahir, mungkin dia sekarang juga sibuk mengurusi isteri baru dan anak-anaknya, begitu penjelasan Bibi. Membuatku tersungut, tapi aku tetap bahagia dengan hidup apa-adanya seperti ini. Menurutku hidup ini sangat menyenangkan, bermain dan bermain. Dan aku tetap senang karena penghuni rumah ini saling mempedulikan satu sama lain.

*****

            “Kak, aku takut...
Hujan amat lebat di luar sana. Suara guntur menggelegar sangat nyaring, amat memekakkan telinga. Aku menarik selimut kumul sampai menutupi seluruh wajahku, mana bisa aku memejamkan mata, suasana sangat mencekam. Yang lebih parah lagirumah lanting kami bergoyang amat dahsyat, terasa seperti diterjang ombak ganas. Pintu belakang berderit-derit, angin kencang menerpa keras melewati lubang-lubang di rumah kami. Aku bergidik, bagaimana kalau rumah lanting kami ini tanggul talinya lepas, terhunyung terbawa arus sungai, tentu akan kami dapati besok harinya kami akan berada di negeri antah-berantah mana.
            “Kakak.....” Aku kembali menjerit lirih.
            “Hus!! Bisakah kau diam?!
Akhirnya Kak Nanang terbangun juga. Meski sambil mendengus sebal, setidaknya terjaganya ia rasa takutku sedikit berkurang. Tak jauh dari tempat kami, Bibi Jumrah dan Galuh amat tertidur nyenyak, Seperti menikmati suasana.
            Kak Nanang menerawang wajahnya pias ke arah jendela kami yang tidak tertutup sempurna karena lapuk dimakan usia, dia terlihat melamun akan tetapi setelah itu wajahnya bergidik takut.
            “Kata Bibi Jumrah duu, saat tengah malam hujan deras dan gelombang sungai bergejolak hebat seperti ini, sang makhluk buas itu akan keluar berkeliaran….”
            “Maksudnya apa kak? Makhluk buas apa yang kakak bilang tadi?!” Aku bergidik ngeri sambil menarik selimut lusuh ini sampai menutupi separuh wajah, tubuhku bergeser pelan agar merasa rapat dengan posisi kak Nanang.
            “Kak….” Aku masih bertanya walaupun hatiku kecut.
            “Diamlah…jangan sampai buaya kuning itu mengetahui kita belum tidur. Kamu tahu Amang Salani kan? Yang tinggal di gubuk angker ujung hilir desa kita ini, beliau adalah orang yang memiliki banyak ajian mistik dan yang paling terkenal ceritanya adalah, beliau memiliki buaya kuning yang sangat besar…”
            Aku semakin terkejut dan menggigit jari, kurasakan bulu kudukku berdiri.
”Sudahlah, cepat kau tidur. Besok kita mesti bangun pagi-pagi kan?”
“Lah, kak? Aku masih ingin mendengar cerita kakak.”
Kak Nanang mengubah posisi bantalnya menutupi seluruh kepala, dan sehabis itu ia terdengar mengorok kembali, tanpa memperdulikanku yang masih melongo.Tertinggal aku sendiri yang tak dapat memejamkan mata, aku paling benci dengan suasana malam menakutkan seperti ini!
*****

            Aku mematung di muka pintu rumah, memandang guyuran hujan deras pagi ini. Ternyata semenjak malam tadi hujan belum juga mau mereda. Aku mendesah pelan. Begitu pun Kak Nanang, pandangannya kosong seperti memandang arah tak menentu.
            “Yah.. gimana ini Kak? Hujannya semakin deras.”
Kak Nanang hanya diam menatap butiran deras itu. Tak lama kemudian Bibi Jumrah datang menghampiri kami berdua yang termangu di depan pintu, sambil membawa satu buah daun pisang lebar yang kayaknya baru dipetik dari depan rumah tetangga.
            “Nah, bawalah daun ini. Kalian bisa menggunakannya sebagai penutup kepala. Ingat, jangan sampai hujan-hujanan, aku tak mau dengar kalau kalian sakit.” Bibi Jumrah berkata tegas. Aku dan Kak Nanang bergegas meraih daun pisang lebar itu dan melangkahkan kaki menerjang guyuran lebat ini.
            “Nanang!” Langkah kami berdua terhenti, sesaat menoleh Bibi Jumrah yang masih di muka pintu.
“Jaga adikmu!” Kak Nanang mengangguk. Setelah itu kami melangkah mantap menuju sekolah.
Jaraknya sekolah sebenarnya lumayan jauh dari keberadaan rumah lanting kami, perlu tiga puluh menit lamanya untuk menempuh ke sana, itupun kalau jalanan kering saat musim kemarau. Lalu sekarang, lihat saja jalanan becek di sana-sini. Belum lagi karena bekas hujan yang sedari malam tadi tak kunjung berhenti membuat seluruh jalan setapak di antara semak-semak semuanya tergenang air. Bahkan aliran air ini cukup deras saat melewati jalan bebatuan, kalau tidak hati-hati tentu saja kakiku yang kecil ini akan terpeleset atau bahkan bisa terseret arus.       
Hingga tibalah kami di depan sungai kecil selebar tiga meter, dan musim penghujan membuat arus sungai itu terlihat cukup deras, dan batu-batu besar yang biasanya digunakan untuk menanjakakan kaki untuk menyeberangi itu tenggelam hingga tidak kelihatan. Kak Nanang membenamkan sebelah kakinya untuk mengecek sedalam apa arus sungai sampai gundukan batu-batu tersebut.
“Airnya cukup dalam…” lirihnya. Aku terdiam, setelah itu ia memerintahkan agar lebih menyingsingkan celana merah sekolahku sampai setinggi mungkin. Setelah itu kulihat Kak Nanang memasukkan buku-buku tulis ke dalam perutnya untuk diapit biar tidak terjatuh, kemudian digenggamnya tangan kiriku dengan erat.
“Sekarang kita jalan pelan-pelan. Jangan sampai kamu melepas tanganku.” Kak Nanang memberi  kode kalau kami akan menyeberangi sungai deras di hadapan kami ini, aku menelan ludah. Aku lumayan takut saat melihat banyak potongan-potongan kayu dan ranting daun berseliwiran lewat di depan kami terseret arus.
“Ayo, jangan melamun!” Aku terkesiap ketika Kak Nanang menurunkan kakinya duluan ke air sungai ini, selanjutnya aku dengan gemetar berjalan mengikuti dengan posisi tangan kiri mengenggam erat tangannya dan tangan kanan memeluk satu buku tulis tebal. Kami berdua memang sama-sama tidak memiliki tas gendong atau semacam apa yang bisa menampung peralatan alat-alat sekolah kami. Memang beginilah adanya, sepatu pun kami tak punya, sandal jepit ini lah yang selalu menemani hari-hari kemanapun kami pergi. Ironis kenapa sekolah kami tidak pernah satu kali pun mendapatkan bantuan dari orang-orang terpandang di luar sana, agar kami bisa sedikit mengecup enaknya mempunyai tas, sepatu, atau pakaian sekolah yang layak. Kemudian aku sedikit tersenyum sinis, menunggu hari kiamat pun rasanya bantuan itu takkan pernah datang menyapa kampung kami yang sangat terpelosok jauh dari riuhnya kota ini.
Lihat, sempurna sudah air ini membasahi sampai sekilan di atas pahaku. Sedikit saja lagi singsingan celana merah ini akan basah semuanya, aku berjalan berusaha untuk sambil berjingkit. Kak Nanang semakin erat menggenggam tanganku, setidaknya aku merasa sedikit lebih aman. Sudah hampir separuh lebih sungai ini kami jalani, air sungai yang dingin pagi hari ini membuat tulang  kakiku sedikit tegang, aku menggigit bibir. Namun tak berapa lama kemudian naas kaki kananku menginjak gundukan batu besar yang sangat licin, dan sontak saja aku langsung terjatuh. Aku refleks berteriak, dengan sigap Kak Nanang menarik tanganku dan membantuku untuk berdiri. Namun ada satu hal yang membuatku panik.
“Kak, buku tulisku!!” aku berteriak panik, mukaku pucat. Bagaimanatidak, itu adalah catatan PR matematika yang kukerjakan dua hari dua malam penuh. Dan pagi ini catatan itu harus segera dikumpul. Aku tak mau lagi bayangan seram wajah Ibu Nina yang bertanduk itu mengomeliku keras-keras karena tempo kemaren aku tidak ingat mengerjakan PR darinya. Dan sekarang...
“Tunggu di sini!” Kak Nanang dengan cepat berlari ke tepian sungai, mengejar bukuku yang telah hanyut dibawa arus deras ini. Aku melangkah gontai ke tepian, duduk terhunjur lemas sambil mengatur nafas. Sudah basah kuyup lah tubuh kecilku habis terpeleset tadi. Sambil menunggu Kak Nanang kembali, aku berdoa agar ia kembali dengan menyelamatkan buku tulisku itu walapun basah ataupun sudah hancur dirobek buntalan air. Yang penting wujudnya ada, dan bisa kuperlihatkan pada Bu Nina kalau aku sudah mengerjakan semua tugas rumah olehnya. Lama aku menanti Kak Nanang, wajahku sudah super terlipat menahan perasaan takut kalau bukuku itu tidak ditemukan. Setelah itu kulihat ia datang dengan langkah gontai dan wajah pucat. Aku menaikan kedua alis dan mendongakkan wajahku, pertanda isyarat bertanya bagaimana? Setelah itu Kak Nanang menggeleng lemah. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tanganku, tamatlah sudah riwayatku. Namun setelah itu ia berbicara sangat pelan, seperti berbisik namun gurat wajahnya merintih menahan rasa takut.
“Makhluk itu…aku melihat buaya kuning besar itu sedang menatap tajam kepadaku di ujung kali sana!” Aku tersentak kaget, serta merta secepat kilat aku menggenggam tangan kak Nanang untuk berlari kencang menjauh dari lokasi sungai ini. Langit di atas sana bergemuruh, entah apakah hujan ini akan lebih menggila mengguyuri desa kami.

*****
Sekolah ini bangunannya sungguh memprihatinkan, banyak sudah ruangan kelas tidak bisa dipakai karena dikhawatirkan akan roboh secara tiba-tiba. Hanya empat ruangan, tiga ruang kelas untuk belajar dan satunya lagi ruang para guru, itu pun tidak pantas disebut ruang guru karena beralaskan tanah dan ruangannya sangat pengap, dengan sarang laba-laba banyak menghiasi ujung langit-langit bangunannya. Sedangkan tiga kelas sisanya tadi dipakai semua enam tingkatan kelas. Tentu saja kalian bisa menebaknya, kami bergiliran memasukinya, ada yang waktu pagi dan masuk diwaktu siang. 
Aku memasuki ruangan kelas dengan tangan kosong, kulihat teman-teman di sana sibuk dengan ocehannya masing-masing, tanpa ada satu pun yang menanyakan kenapa aku tidak membawa buku tulis atau mengapa badanku basah kuyup semua, ahh...peduli apa mereka? Aku menyapu pandangan ke seluruh isi kelas, ibu Nina belum masuk rupanya. Aku bisa sedikit bernafas lega.
Aku duduk termanggu di bangku paling belakang, di luar sana hujan masih belum berhenti namun sekarang hanya gerimis yang menyapu desa kami.Ruangan ini berisi tiga belas anak-anak kelas empat, tentunya mereka semua dari kalangan menengah kebawah sama sepertiku. Namun mereka sama sekali tidak pernah mengeluh atas keberadaan mereka seperti ini, terlebih mengeluh tentang sekolah tempat belajar mereka. Bahkan pernah salah satu temanku bilang lebih asyik tidak usah sekolah saja, kan enak bisa libur terus katanya, aku tersenyum menyeringai saat itu. Di sampingku duduk si Adul yang menatap ke papan tulis dengan tatapan kosong, aku tersenyum menyapanya, namun aku tahu takkan pernah bisa mendapatakan balasan senyum darinya, Adul anak yang cerdas namun autis.
Tiba-tiba suasana yang mulanya rusuh dan sangat ribut mendadak senyap, ibu Nina rupanya masuk dengan peluh berkucuran di keningnya dan langkah yang sedikit tergesa-gesa.
“Selamat pagi anak-anak, maaf Ibu terlambat datang.”
Kami dengan serentak menjawab salam beliau. Aku gugup karena teringat kembali dengan buku tulisku yang hilang terseret air sungai tadi.
“Ehem..anak-anak silahkan buka buku paket Bahasa Indonesia kalian.”
Eh, entah terkena angin apa bu Nina sama sekali tidak menyinggung masalah PR matematika yang beliau suruh kemaren, aku menarik nafas panjang sedangkan teman-teman yang lain kulihat bersorak pelan sambil menunjukkan wajah sumringah mereka.
            “Perhatikan anak-anak, tolong kalian sediakan selembar kertas. Tulis sebuah puisi untuk Gubernur kita sekarang juga. Nanti tugas kalian dikumpulkan kepada kepala sekolah, dan puisi terbaik akan diserahkan langsung kepada Bapak Gubernur.”  
Aku melongo, kemudian aku tersenyum sinis. Apa gunanya tugas ini? Apakah dengan puisi yang berisi permintaan-permintaan atau semacam perasaan iba dari kami bisa didengar olehnya? Entahlah.. dengan tangan lunglai segera kucoret kertas yang baru saja kupinta dari Adul dengan batang pensil pendek ini. Di situ kutulis kalimat pembuka: “Ayahanda terhormat...” Aku mendesah pelan sambil memejamkan mata, apa yang harus kutulis? Selanjutnya aku membayangkan anak-anak di desa kami bisa bersekolah dengan layak, bangunan sekolah yang tegar dan kokoh seperti di kota-kota besar sana, dan aku bisa makan tiga kali sehari dengan paha ayam kesukaanku waktu ada upacara adat AruhGanal di desa kami musim lalu, atau bisa saja aku meminta agar dibuatkan jembatan ulin yang kuat agar kami tidak perlu repot-repot mencelupkan kaki lagi saat pergi berangkat sekolah. Atau? Aku minta agar hal-hal mistik seperti buaya kuning milik Amang Salani agar dimusnahkan saja oleh tentara-tentara milik pemerintah karena aku takut. Ah, semua ini terasa kritis. Episode merah putih di negeri kita mengantung-gantung di langit tanpa tonggak penampungnya. Entah bagaimanakan nasib orang-orang seperti kami ini selanjutnya.[]


Tidak ada komentar: