Minggu, 07 Agustus 2011

Harmoni Gumam Asa; Sebuah Peradaban Potensial

Ketika membaca Gumam Asa, maka kita akan dihadapkan dengan sebuah jalur pemikiran visual tertentu. Seperti menjelajah ruangan tidak berujung, pembaca seperti dibawa hanyut oleh arus. Selain itu Gumam Asa bisa dikatakan suatu karya yang original, karena di dunia kesusastraan kemungkinan kecil hanya sebagian yang menyajikan Gumam, dan tentunya Asa memberikan romansa baru dan nuansa yang berbeda pula. Bisa dirasakan dengan ragam tutur kata yang tak beraturan namun memiliki makna yang tersirat pada tiap helai kata metafora yang disajikan. Asa memiliki gaya dan genre yang berbeda dari karya orang kebanyakan, dan Gumam adalah salah satu buktinya.


 
Gumam bisa dikatakan sebuah karya klassik maupun kontemporer. Tergantung dari pembacanya atau penikmat Gumam itu sendiri yang mau menafsirkan seperti apa. Selain itu semua kandungan isinya sangat terampil dam estetik. Sejatinya dari ke empat buku Gumam Asa  Bungkam Mata Gergaji, terbitan Frame Publishing, Yogyakarta, Februari 2011, ini adalah suatu bukti konkrit yang jarang terjadi. Bagaimana tidak, Asa sangat produktif dalam menciptakan karya ‘Gumam’nya. Dengan jangka yang tidak begitu lama, seorang Asa dapat membuktikan kretifitasnya yang kokoh setelah Gumam Asa yang terbit terlebih dahulu yakni; Negeri Benang pada Sekeping Papan (Tahura Media, 2009), Tubuh di Hutan Hutan (Tahura Media, 2009), dan  Istana Daun retak (Frame Publishing, 2010). Bukankah ini bukan perkara mudah untuk mengkreatifitaskan hal yang baru yakni pada sebuah Gumam? Bukan hanya untuk disimak atau didengar, akan tetapi untuk dicermati seluk-beluk keindahannya. Tidak berbelit memang, namun pada kenyataannya Asa hanya mencoba berbagi rasa lewat Gumam-gumamnya.
Di dalam buku Bungkam Mata Gergaji terdapat tujuh Gumam Asa yang semuanya terbagi dalam histori menyebar pada bagian-bagian makna tertentu. Seperti pada bagian: “Luka Merah, Merah apel”, “Ragam Jejak Rentak-rentak”, “Di Langit Buku Tak Terbaca”, dan “Selanjutnya Kartini”. Pada bagian ini terasa sekali plot-plot yang beragam di setiap ambigunya. Lalu romansa yang dirasakan pembaca tentunya juga berbeda pula, dan saya menyimpulakan idiomnya sangat ketat pada bagian-bagian ini. Kombinasi kata-kata yang unik sedemikian rupa, walaupun liar namun tetap terasa jinak.
Lalu pada bagian Gumam Asa ‘Bungkam Mata Gergaji” yang menjadi judul dari buku ini seperti mewakili keadilan dari gumam-gumam yang lain. Peningkatan kata serta penajaman ambivilensinya bukan saja seperti makna ganda yang berkaitan dengan diksi, namun bisa saja penggambaran deskripsi tertentu. Lain hanya hutan-hutan yang diperdebatkan, tetapi kegelisahan personal seorang Asa lah yang amat dirasakan. Apa pun maksud itu, hanya Asa yang dapat mengartikannya secara individual dan nyata;
Untuk apa persatuan bila acara kerja bungkam mata gergaji terlalu sering menyakitkan, selalu memamerkan bentuk-bentuk keculasan, selalu mempertontonkan bahwa yang seharusnya dilindungi ternyata dijadikan tumbal berbagai kekuatan, sebagai korban kekuasaan; di semua bidang, karena bungkam mata gergaji menciptakan sesuatu yang sepotong-potong... terpisah-pisah... terpecah-pecah.(hal.21)
Kemudian pada mozaik ini adalah bagian Gumam Asa yang tidak pernah ketinggalan dari keempat tetralogi Gumam Asa sebelumnya, yakni; “Gumam Kepada Gumam”. Seperti biasa, Asa mencoba menyampaikan naluri hatinya, yang mengandung narasi kehidupan lewat gumamnya kepada sang penerima gumam. Kadang resah namun bisa pula rasa simpatik yang dialirkan lewat mata kebathinan. Dan tentu saja lebih keperasaan, seperti manis tak terhindar.
Dan selanjutnya pada Gumam Asa bagian penutup; “Lembar Demi Lembar” terdapat kepingan-kepingan gumam yang lebih mirip ke arah prosa atau puisi maupun seperti sajak-sajak psikologis pada kenyataannya. Ini sangat menarik dan patut untuk direnungkan secara obyektif.
Gumam melayang terbang, kepadamu dan hanya kepadamu:
Selanjutnya Gumam-gumam yang lebih pendek namun padat akan makna seperti berterbangan di kepala pembaca. Lewat segi gaya idiom yang lebih pasif akan keadaan, namun juga lebih terangsang akan tekanan kesadaran penikmat Gumam Asa itu sendiri. Sederhana namun sangat terperinci. Tidak memaksa kepada pemikiran pembaca karena efeknya universal. Seperti halnya pada kepingan mozaik “Pohon-pohon Rumbia” (hal.111)
Pohon-pohon itu tertinggal jauh dari derap langkah perjalanan yang lama tidak lagi meninggalkan jejak di lumpur, “Lihatlah ujung atap rumah itu pun lenyap tanpa mampu bernapas, bahkan untuk dirinya sendiri, kita tak mampu,” selembar atap rumbia hanyut di arus sungai menuju laut yang begitu luas.
“Adakah yang akan berangkat di subuh bercuaca kabut itu,” suara dari menara dan kini kita semakin melupakan bahwa ada yang menangis di bawah lumpur mereka.
Sebagai catatan terakhir, Asa selalu menyampaikan kalau dia amat menyukai Gumam; sengaja kutulis gumam karena aku menyukainya. Di buku Gumamnya yang pertama sampai ketiga (triologi) selalu tertera ucapan demikian. Nah, mungkin bukan saya pribadi saja yang menginginkannya, tapi kemungkinan seluruh khalayak pecinta sastra –di banua khususnya- menunggu kehadiran buku Gumam Asa selanjutnya. Bukan hanya terbit sampai empat (tetralogi) saja, namun Gumam Asa kelima (fivelogi / pentalogi), atau heksalogi, heptalogi sampai seterusnya masih amat dinantikan kemunculannya.
Lantas, kenapa jadi saya mengatakan Gumam Asa adalah sebuah peradaban yang potensial? Menurut pendapat saya sendiri Gumam memiliki potensi hebat yang dapat menggebrak kancah kesusastraan Indonesia, dan semoga saja Asa dapat terus meningkatkan kreatifitas lewat Gumam-gumamnya, sehingga asumsi saya pun benar adanya. Wallahu’alam, Tuhan maha mengatur dan bijaksana.

Istana Daun Retak (Triologi Gumam Asa)

 Ali Syamsudin Arsi "Asa" (Penulis Tetralogi Gumam)

 Bungkam Mata Gergaji (Tetralogi Gumam Asa)
Ada satu kejadian menarik ketika Ibunda saya membaca Gumam Asa Bungkam Mata Gergaji tersebut. Beliau bertanya, “Nak, ini puisi atau cerpen?” Lalu saya tersenyum sumringah sambil mengatakan kalau itu adalah dari kedua-duanya.
Unzhur maa qaala wa laa tandzur man qaala (Lihat apa yang dikatakan bukan orang yang mengatakannya). Salam Sastra!
Kota Bertaqwa
 5 Juli 2011 


Arief Rahman Heriansyah; Kelahiran Amuntai 14 Juni 1992
Telah menyelesaikan studinya selama 7 tahun di Pon-Pes AL FALAH Banjarbaru,
berdomisili di Amuntai dan sekarang berencana untuk melanjutkan kuliahnya di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Banjarmasin.

6 komentar:

Muhammad Qori mengatakan...

tulisan ikam abstrak!
kada paham lalu aku nah..

Zian mengatakan...

istana daun retak blm bisi aku. barii pang...

Arief Rahman Heriansyah mengatakan...

@Qori: Brarti aku ada kamajuan tu, hohohoho

Arief Rahman Heriansyah mengatakan...

@Zian: Kadian ja fank, tukari tufank, hahaha

Anonim mengatakan...

Assalaamu'alaikum wr.wb, Arief...

Selamat menjalani puasa dengan sabar dan redha. Mudahan diganjari Allah dengan pahala yang berlimpat ganda. Aamiin...

Saya senang membaca ulasan Arief tentang buku gumam ASA. Alhamdulillah, saya sudah memilikinya sebagai hadiah dari Bapak ALi kepada saya tempoh hari. Mudahan saya bisa memahami kandungan dan bisa juga membuat sedikit review tentangnya.

Salam mesra dari Sarikei, Sarawak.

SITI FATIMAH AHMAD
http://webctfatimah.wordpress.com/

TS Frima mengatakan...

menrik sekali. menrut saya ini sesuatu yang baru.